Terungkap, Awal Mula Fenomena Orang Indonesia Suka Menyingkat Kata

Ilustrasi Pesan Singkat. (Dok. Freepik/rawpixel.com / Ake)
Foto: Ilustrasi Pesan Singkat. (Dok. Freepik/rawpixel.com / Ake)

Kini, menyingkat kata atau gabungan huruf menjadi kebiasaan orang Indonesiaketika berkomunikasi. Ada banyak contoh.

Saat formal, misalkan, kita sering menyingkat “Natal dan Tahun Baru” menjadi “Nataru”. Atau “sembako” berarti “sembilan bahan pokok”. Sedangkan di situasi santai contohnya lebih banyak lagi.

“Lagi di mana?” yang disingkat “lg dmn?”.

“Terima kasih” menjadi “trims”.

Namun, terkadang penyingkatan kata membuat komunikasi sulit dipahami. Sebab, tak semua mengerti singkatan kata yang diucapkan lawan bicara. Apalagi terkadang memunculkan makna baru.

Sebut saja seperti: “ttdj” yang berarti “hati-hati di jalan”. Padahal, “ttdj” bisa berarti musisi Titi DJ. Atau “HBD” bukan “Happy Birthday”, tapi “Hidup Butuh Duit.”

Kebiasaan orang Indonesia menyingkat kata atau gabungan huruf, yang disebut dalam linguistik sebagai akronim, sudah berlangsung sejak lama.

Secara umum, sejarah mencatat kebiasaan akronim di berbagai wilayah bumi bermula dan dipengaruhi oleh kebiasaan di dunia militer. Kerahasiaan dan efisiensi yang dijunjung tinggi di dunia militer melahirkan akronim-akronim yang hanya bisa dimengerti oleh satu pihak saja.

Seperti Babinkum (Badan Pembinaan Hukum), Dirrenbangpuan (Direktur Perencanaan dan Pengembangan), dan lain sebagainya. Masyarakat Indonesia secara luas yang sempat dipimpin oleh tokoh militer juga kena getahnya.

Soenjono Dardjowidjojo dalam “Acronymic Patterns in Indonesian” (1975) menjelaskan, hobi akronim dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Pada tahun 1960-an, Soekarno sudah hobi menyingkat kata, seperti “Jas Merah” (Jangan Sesekali Melupakan Sejarah) dan “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis)

Hanya saja, fenomena ini tidak begitu populer sampai tahun 1965 tepatnya saat Peristiwa G30S terjadi. Sejarah mencatat Peristiwa G30S yang membuka jalan Jenderal Soeharto berkuasa selama 32 tahun membuat peran militer di sipil dan pemerintahan semakin besar. Praktis, kebiasaan-kebiasaan di dunia militer, termasuk hobi akronim, tertular ke masyarakat.

Salah satu kelompok besar yang turut menularkan kebiasaan itu adalah para jurnalis. Lewat publikasi koran, majalah dan TV, para jurnalis memperkenalkan banyak akronim ke masyarakat, sehingga terjadi akronimisasi.

Semua itu kemudian menghasilkan banyak sekali kata atau gabungan huruf yang disingkat oleh masyarakat. Russel Jones dalam “Acronym in Bahasa Indonesia” (1974) mencatat sampai tahun 1974 saja ada 27.000 akronim. Sayang, belum ada riset lagi yang memaparkan berapa banyak akronim di Indonesia masa kini. Pastinya, sudah lebih dari 27.000 kata.

Proses akronimisasi bukan sesuatu yang keliru. Ini terjadi juga di banyak negara. Ahli linguistik Nenagh Kemp dari University of Tasmania di situs Australian Geographic menyebut, akronimisasi sebagai proses wajar masyarakat untuk menghemat waktu dan tenaga.

Terlebih, proses ini juga bisa membuat percakapan menjadi lebih santai. Hanya saja, kebiasaan akronim juga harus disepakati oleh masing-masing lawan bicara supaya tidak terjadi miskonsepsi.

kas138 daftar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*