Pemadanan NIK dengan NPWP akan memunculkan budaya perpajakan baru yang lebih baik. Salah satunya wajib pajak tidak akan mudah memberikan identitasnya untuk digunakan pihak lain sebagai nominee.
Pengantar
Pinjam nama saat mengakuisisi aset, kerap dijadikan modus oleh wajib pajak yang ingin berkelit dari kewajiban perpajakannya. Praktik ini umumnya dilakukan dengan cara menggunakan identitas pihak lain atau nominee, saat membeli sebuah aset. Tujuannya, untuk mengaburkan pelaku transaksi yang sebenarnya dari otoritas pajak.
Penggunaan nominee juga sering dilakukan untuk motif tindak pidana korupsi. Dalam sejumlah kasus korupsi yang terungkap, pelaku yang umumnya memiliki jabatan tertentu, mengaburkan uang hasil kejahatannya dengan membeli barang-barang mewah memakai identitas pihak lain.
Hal ini dilakukan karena pelaku penghindaran pajak maupun tindak pidana menganggap, tindakan pelanggaran hukumnya tidak akan diketahui. Selain itu, pihak yang identitasnya dipinjam atau nominee juga tidak akan merasa dirugikan karena merasa tidak ada risiko hukum apa pun yang akan menjeratnya. Tidak hanya itu, penggunaan nominee juga jamak dilakukan oleh pelaku usaha, saat menjalankan aksi korporasinya, misalnya akuisisi.
Tetapi dengan pemadanan Nomor Indik Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), harusnya wajib pajak lebih berhati-hati ketika ada pihak yang ingin menjadikannya nominee. Pasalnya, NIK yang selama ini hanya menjadi identitas kependudukan juga digunakan sebagai identitas wajib pajak.
Setelah berlakunya Coretax, yaitu sistem administrasi perpajakan baru, aset yang diperoleh menggunakan NIK akan secara otomatis tercatat sebagai harta wajib pajak tersebut. Sehingga, otoritas pajak dapat mendeteksi aset yang diperoleh dan diindikasikan ada tambahan penghasilan yang belum dilaporkan. Padalah, faktanya harta tersebut bukan dimiliki oleh nominee yang memiliki NIK.
Nomor Indentitas Tunggal
Kita tahu, implementasi NIK sebagai NPWP sebagai single identity number atau nomor identitas tunggal, telah berjalanj efektif sejak 1 Juli 2024, sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2024.
Sebagai informasi, ketentuan itu merupakan lanjutan dari keputusan kebijakan pemerintah yang mengubah format NPWP dari 15 digit menjadi 16 digit. Bagi wajib pajak dalam negeri penduduk Indonesia formta NPWP menggunakan NIK.
Sementara bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri bukan penduduk dan wajib pajak badan menggunakan NPWP 16 digit. Kemudian, untuk cabang menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
Penting untuk dipahami, bahwa pemadanan NIK-NPWP tidak hanya sekadar penggunaan nomor digit yang sama. Lebih dari itu, pemadanan NIK-NPWP berarti ada integrasi data antara yang tercatat pada sistem perpajakan dengan data kependudukan.
Budaya Perpajakan Baru
Saya meyakini, penggunaan NIK sebagai NPWP bisa memberi dampak yang sangat besar pada kebiasaan masyarakat kita, khususnya wajib pajak. Ke depan akan muncul kesadaran baru yang lebih kolektif, pentingnya menjaga informasi pribadi, karena besarnya risiko yang akan timbul di kemudian hari.
Kesadaran ini bisa memicu lahirnya budaya perpajakan baru, yang lebih transparan akuntabel dan penuh tanggung jawab. Saya harapkan, budaya yang lahir bukan hanya menciptakan kepatuhan perpajakan yang didasari penghindaran risiko, tetapi juga kepatuhan perpajakan yang didasari oleh kepercayaan dan kemudahan.
Misalnya, kemudahan dalam melaksanakan administrasi perpajakan yang menekan biaya kepatuhan atau cost of compliance. Wajib Pajak Individu yang sudah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak, bisa mendaftarkan diri ke Kantor Pajak dengan mudah. Sebab, NIK yang dimiliki oleh Wajib Pajak Individu tersebut langsung dapat digunakan sebagai NPWP.
Selain itu, adanya integrasi layanan yang menggunakan NIK sebagai identitas antar lembaga, juga memberikan kemudahan dalam proses pelayanan yang diterima oleh wajib pajak Individu.
Sejatinya, bagaimana budaya pajak terbentuk akan ditandai oleh hubungan antara aparat pajak dengan wajib pajak, serta pola perilaku yang timbul akibat hubungan tersebut (Ilyas dan Burton, 2007). Secara umum, ada tiga hal yang memengaruhi budaya pajak, yaitu hubungan antara aparatur pajak dan wajib ajak, peraturan perpajakan, budaya nasional.
Mempermudah Pengawasan
Perlu dipahami bersama, dalam asas pajak yang kita anut yaitu self assesment, pengawasan kepatuhan pajak menjadi aspek yang krusial. Karenanya, setiap kebijakan dan pengembangan sistem perpajakan, selain mempermudah wajib pajak juga mempermudah otoritas dalam melakukan pengawasan.
Begitu pun dalam penggunaan NIK sebagai NPWP, akan membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengawasi wajib pajak melaksanakan kewajibannya. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh DJP yaitu dengan menggunakan sistem Coretax.
Rencananya, Coretax diluncurkan pada 1 Januari 2025. Di dalamnya, integrasi NIK dengan NPWP menjadi salah satu syarat penting agar sistem tersebut dapat berjalan. Hal ini dikarenakan NIK akan digunakan oleh Kantor Pajak untuk menghimpun data-data yang berkaitan dengan Wajib Pajak yang terdapat pada database di Lembaga lain.
Data-data tersebut nantinya akan dikumpulkan dan dibandingkan dengan data pelaporan SPT yang sudah dilakukan secara mandiri oleh Wajib Pajak. Perbedaan data yang ada pada sistem dan SPT menjadi dasar awal bagi DJP untuk melakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak.
Pada akhirnya, kita harus memahami bahwa upaya menjaga perilaku tertib dalam menjalankan perpajakan, baik oleh wajib pajak maupun fiskus, merupakan upaya yang tidak akan pernah usai. Setiap kebijakan dan perubahan aturan harus dilengkapi dengan kepastian implementasinya. Karena teknologi dan sistem apa pun yang dipakai, akan kembali pada manusia sebagai pengguna dan pelaksananya.