Myanmar dilanda perang saudara. Sejak junta militer mengambil alih kekuasaan melalui kudeta, konflik antara pemerintah dan pemberontak kian memanas dan tak kunjung usai.
Hal ini pun mendapat sorotan luas dan masuk ke dalam daftar Big Stories CNBC Indonesia 2024.
Sepanjang tahun ini, sejumlah ketegangan telah pecah di Myanmar, dimulai dari bangkitnya kekuatan kelompok pemberontak hingga goyahnya pemerintahan junta militer.
Lebih dari 3 tahun setelah merebut kekuasaan, junta militer Myanmar sejatinya masih berjuang untuk mendapatkan kendali. Beberapa bulan terakhir sebelum memasuki 2024, mereka mengalami kekalahan memalukan, sehingga meningkatnya kritik terhadap pemimpinnya, Min Aung Hlaing.
Tahun ini, junta telah kehilangan wilayah penting di utara sepanjang perbatasan dengan China, dan di barat, dekat perbatasan India. Di wilayah lain, pihak militer masih terjebak dalam pertempuran sengit dengan kelompok-kelompok anti-kudeta, dan tidak mampu menghentikan gerakan perlawanan yang gigih.
Kelompok yang Melawan
Myanmar dilanda konflik berkepanjangan sejak 2021, ketika militer merebut kekuasaan melalui kudeta, menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi. Kudeta tersebut, yang membuat marah masyarakat, memicu protes jalanan besar-besaran yang menyerukan kembalinya demokrasi.
Ketika kekerasan junta menyebabkan demonstrasi tidak lagi aman, masyarakat mengangkat senjata untuk melawan penindasan militer, seringkali hanya dilengkapi dengan senjata rakitan.
Ada banyak kelompok berbeda yang berperang melawan junta, termasuk kelompok sipil pro-demokrasi baru yang mengangkat senjata setelah kudeta, yang dikenal sebagai kekuatan pertahanan rakyat (PDF). Banyak di antara mereka yang bersekutu dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang dibentuk untuk menentang junta.
Beberapa kelompok etnis bersenjata yang lebih tua, yang telah lama berperang melawan militer untuk mencapai kemerdekaan, juga berperang melawan junta. Meskipun mereka semua menentang militer, tujuan spesifik mereka, dan sejauh mana kelompok-kelompok ini terkoordinasi berbeda-beda.
Biksu Turun Tangan
Awal tahun ini, kelompok biksu Buddha ikut turun tangan dalam perang saudara ini.
Pada Selasa (23/1/2024), ratusan orang berdiri di alun-alun kecil Pyin Oo Lwin, sebuah kota perbukitan yang populer di Myanmar, untuk mendengar seorang biksu populer yang memberikan saran yang mengejutkan.
“Min Aung Hlaing harus minggir dan membiarkan wakilnya Jenderal Soe Win mengambil alih,” kata biksu ultra-kanan bernama Pauk Ko Taw itu, seperti dikutip BBC.
Pauk sendiri hingga saat ini masih setia mendukung junta militer. Namun serangkaian kekalahan telak yang diderita tentara di tangan milisi etnis dalam beberapa pekan sebelumnya telah mendorong pendukung Min Aung Hlaing untuk mempertimbangkan kembali.
“Lihat wajah Soe Win. Itu wajah prajurit sungguhan. Min Aung Hlaing tidak bisa mengatasinya. Seharusnya ia beralih ke peran sipil,” tambah Pauk.
Tidak jelas dukungan seperti apa yang dimiliki Pauk Ko Taw di angkatan bersenjata. Namun komentarnya senada dengan komentar para pendukung junta lainnya, yang semakin frustasi dengan ketidakmampuan para pemimpin militer Myanmar untuk membalikkan keadaan terhadap lawan-lawan mereka.
Hubungan antara militer dan kebhikkhuan bukanlah hal baru. Para biksu Myanmar memiliki tradisi politik yang panjang, seringkali aktivisme anti-otoritarian, mulai dari gerakan anti-kolonial pada tahun 1930-an hingga pemberontakan melawan kekuasaan militer pada tahun 1988 dan 2007.
Banyak yang menentang kudeta pada 2021, beberapa di antara mereka menanggalkan jubah mereka dan mengangkat senjata melawan kudeta. Namun beberapa di antara mereka telah bekerja sama dengan para jenderal, berbagi keyakinan yang sama bahwa baik Buddha maupun budaya perlu dilindungi dari pengaruh luar.
Junta Mulai Terpecah
Perpecahan juga muncul di kalangan aparatur negara. Komandan Pasukan Perbatasan wilayah Kayin, Kolonel Saw Chit Thu, mengatakan Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) yang berafiliasi dengan junta, tidak akan lagi bertanggung jawab kepada militer.
Figur beretnis Karen itu juga menyatakan netralitas BGF dalam perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan junta.
“Sudah 30 tahun masyarakat Karen saling berperang dan membunuh. Jika kami terus menerima dukungan dari junta, kami harus terus menjalankan tugas tentara di bawah bimbingannya,” ujarnya dikutip Radio Free Asia.
“Bagi kami gaji bukan yang utama, tapi hidup damai,” tegasnya.
Pengumuman Saw Chit Thu muncul setelah pihaknya menarik sekitar 300 tentara BGF dari pangkalan militer yang digunakan bersama dengan pasukan junta di dekat perbatasan dengan Thailand.
Kolonel tersebut mengawasi 13 batalyon dengan lebih dari 7.200 tentara di Kayin dan negara bagian Mon yang berdekatan, berkuasa atas perbatasan dengan Thailand dan Zona Ekonomi Khusus Yatai Shwe Kokko yang didukung China.
Tiga Jenderal Dieksekusi Mati
Junta Myanmar telah menjatuhkan hukuman mati kepada tiga perwira tinggi yang menyerah kepada pejuang etnis minoritas pada Januari di sebuah kota strategis di perbatasan China.
Penyerahan tersebut merupakan salah satu kerugian terbesar bagi militer dalam beberapa dekade, dan memicu kritik lebih lanjut terhadap kepemimpinan junta oleh para pendukungnya. Setelah penyerahan, para perwira dan pasukannya diizinkan meninggalkan daerah tersebut oleh aliansi milisi etnis.
“Tiga brigadir jenderal termasuk komandan kota Laukkai dijatuhi hukuman mati,” kata seorang sumber militer kepada AFP.
Laukkai adalah kota terbesar yang direbut oleh Aliansi Tiga Persaudaraan, yang terdiri dari Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Arakan (AA), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA).
Aliansi tersebut melancarkan serangan mendadak di sebagian besar wilayah utara Myanmar pada akhir Oktober dan telah merebut beberapa kota dan pusat perdagangan yang menguntungkan di sepanjang perbatasan dengan China.
Laukkai sendiri menjadi kota yang cukup tersohor karena produksi narkoba, perjudian, serta seks. Kebanyakan hal-hal ini menarik pengunjung dari seberang perbatasan China.
Laukkai juga saat ini terkenal menjadi pusat operasi penipuan online. Banyak warga China dan negara-negara lainnya datang ke kota itu untuk menipu rekan senegaranya melalui internet.
Keberhasilan aliansi menguasai Laukkai telah menempatkan junta dalam posisi paling rentan sejak mereka merebut kekuasaan.
Wajib Militer
Untuk merespons kekuatan pemberontak antikudeta yang kian kuat, junta Myanmar memutuskan untuk memberlakukan wajib militer.
Program wajib militer ini harus diikuti oleh semua pria berusia 18 hingga 35 tahun dan wanita berusia 18 hingga 27 tahun. Mereka diharuskan bertugas hingga dua tahun di bawah komando militer.
Selain itu, spesialis seperti dokter berusia hingga 45 tahun harus bertugas selama 3 tahun.
“Junta mengeluarkan pemberitahuan berlakunya Undang-Undang Dinas Militer Rakyat mulai tanggal 10 Februari 2024,” lapor media pemerintah yang disiarkan televisi.
Banyak yang percaya bahwa wajib militer adalah akibat dari kemunduran yang dialami militer dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar warga Myanmar pun mulai menunjukan penolakannya.
“Tidak masuk akal harus bertugas di militer pada saat ini, karena kita tidak memerangi penjajah asing. Kita saling berperang. Jika kita bertugas di militer, kita akan berkontribusi terhadap kekejaman mereka,” kata seorang aktivis bernama Robert, kepada BBC.
Warga Kabur ke Luar Negeri
Banyak dari warga Myanmar malah berusaha meninggalkan negara itu. Mereka mulai berupaya mendapatkan paspor agar dapat pergi ke luar negeri, utamanya ke Thailand dan Bangladesh, yang berbatasan langsung via darat dari Negeri Seribu Pagoda itu.
Di Mandalay, dua orang dilaporkan tewas setelah berdesak-desakan di depan kantor pengurusan paspor. Selain itu, ada juga warga yang terluka dan mengalami kesulitan bernafas.
Peneliti Myanmar di Institut Studi Internasional Denmark, Justine Chambers, mengatakan wajib militer adalah cara untuk menyingkirkan pemuda sipil yang memimpin revolusi.
“Kita dapat menganalisis bagaimana undang-undang wajib militer merupakan tanda kelemahan militer Myanmar, namun pada akhirnya bertujuan untuk menghancurkan banyak nyawa… Beberapa akan berhasil melarikan diri, namun banyak yang akan menjadi tameng manusia terhadap rekan senegaranya,” katanya.
Pejuang AS & Inggris Terlibat
Seorang mantan tentara Inggris dan seorang pejuang Amerika bergabung dalam pasukan anti-kudeta saat perang melawan rezim militer Myanmar.
Para sukarelawan mengatakan bahwa mereka terinspirasi oleh perlawanan Myanmar, yang merupakan salah satu kelompok militer paling brutal dan bersenjata lengkap di Asia Tenggara sejak para jenderal mengambil alih kekuasaan dan membunuh pengunjuk rasa lebih dari tiga tahun lalu.
Seorang prajurit infanteri di tentara Inggris selama empat tahun sejak 2009, dengan pengalaman perang selama tujuh bulan di Afghanistan, Jason, mengatakan dia kembali dari Myanmar timur pada akhir April setelah delapan minggu berada di garis depan.
Jason, yang namanya disamarkan, mengatakan para pejuang perlawanan siap mati demi tujuan dalam pertempuran melawan militer.
“Ini berbeda dari tempat-tempat lain, di mana Anda melihat lebih banyak ketakutan di mata. Mereka adalah orang-orang pemberani,” ujar Jason.
Diketahui, kelompok etnis bersenjata, terutama di wilayah perbatasan negara, telah berperang melawan militer selama beberapa dekade, terkadang dengan bantuan sukarelawan asing.
Namun sejak kudeta pada 1 Februari 2021, kekejaman telah menyebar dari daerah pinggiran hingga pusat. Militer, dengan armada jet tempur yang sebagian besar buatan Rusia, telah dituduh melakukan serangan udara tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan membakar desa-desa, yang oleh PBB dan kelompok hak asasi manusia digambarkan sebagai kemungkinan kejahatan perang.
Myanmar belum mengalami gelombang sukarelawan internasional seperti yang terjadi di konflik seperti di Ukraina atau Suriah, dan tidak ada upaya terkoordinasi untuk merekrut sukarelawan asing. Myanmar juga memiliki sejumlah besar kelompok bersenjata yang tersebar di seluruh negeri.
Namun para pejuang asing, yang bertindak secara independen, telah melakukan perjalanan ke wilayah timur dan barat Myanmar dalam upaya rahasia yang berpotensi menempatkan mereka pada risiko penuntutan di negara asal mereka, dan hal ini masih dirahasiakan hingga saat ini.
Nasib Muslim Rohingya
Muslim Rohingya telah menjadi sasaran persekusi militer dan warga etnis bahkan sebelum perang dimulai.
Dalam laporan BBC, banyak dari mereka mengaku mendapatkan serangan dari berbagai senjata, mulai dari pesawat tanpa awak, mortir, dan tembakan. Klinik MSF yang beroperasi di Bangladesh mengatakan melihat lonjakan besar jumlah warga Rohingya yang terluka akhir-akhir ini, setengah dari yang terluka adalah wanita dan anak-anak.
Video korban selamat menunjukkan tepi sungai dipenuhi tubuh-tubuh berlumuran darah, banyak dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Tidak ada hitungan pasti tentang jumlah orang yang tewas, tetapi banyak saksi mata mengatakan kepada BBC bahwa mereka melihat banyak sekali mayat.
Para penyintas mengatakan bahwa mereka diserang oleh Tentara Arakan, salah satu kelompok pemberontak terkuat yang saat ini melawan junta militer. Mereka mengatakan bahwa mereka pertama kali diserang di desa mereka, yang memaksa mereka untuk melarikan diri, dan kemudian diserang lagi di tepi sungai saat mereka berusaha melarikan diri.
“Serangan itu dilakukan oleh mereka. Hanya mereka yang berada di daerah kami pada hari itu. Dan mereka telah menyerang kami selama berminggu-minggu. Mereka tidak ingin membiarkan seorang Muslim pun hidup,” kata seorang saksi.
Kesaksian yang sama juga diucapkan seorang pedagang Rohingya yang kaya bernama Nizar. Ia yang baru saja menjual tanah dan rumahnya memutuskan untuk lari ke Bangladesh saat Tentara Arakan menyerbu keluarganya. Diketahui, putrinya tewas sementara istri dan kerabatnya terluka parah.
“Putri saya meninggal dalam pelukan saya sambil menyebut nama Allah. Ia tampak begitu damai, seperti sedang tidur. Ia sangat mencintai saya,” paparnya.
“Jika Tentara Arakan tidak menembaki kami, lalu siapa yang melakukannya? Dari arah datangnya bom, saya tahu Tentara Arakan ada di sana. Atau apakah itu suara guntur yang jatuh dari langit?”
Ini adalah momen yang genting bagi komunitas Rohingya. Lebih dari satu juta dari mereka melarikan diri ke Bangladesh pada tahun 2017, di mana mereka terus dibatasi di kamp-kamp yang padat dan kumuh.
Lebih banyak lagi yang telah tiba dalam beberapa bulan terakhir saat perang mulai mendekat ke komunitas mereka. Namun kali ini, Bangladesh memperketat penjagaan perbatasan dan membatasi jumlah pengungsi Rohingya yang masuk.
Meskipun ada risiko tertangkap dan dipulangkan ke Myanmar oleh otoritas Bangladesh, sebagian warga Rohingya menyatakan bahwa ingin berbagi rincian kekerasan yang mereka hadapi agar tidak luput dari dokumentasi.
Surat Penangkapan ICC
Pimpinan junta Myanmar Min Aung Hlaing akan terkena surat perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ini terkait kampanye mematikan terhadap minoritas Rohingya, etnis Muslim di negeri itu, yang terjadi beberapa tahun lalu.
Min Aung Hlaing adalah kepala angkatan bersenjata Myanmar ketika militer tahun 2017. Kala itu tentara melakukan tindakan keras ke Rohingya menyusul tudingan kelompok itu hendak memberontak di negara bagian Rakhine.
Tindakan militer tersebut menyebabkan pemerkosaan, pembakaran, dan pembunuhan ke Rohingya. Hal itu membuat 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
“Ada alasan yang masuk akal untuk meyakini Min Aung Hlaing memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama tindakan keras tersebut,” kata Kepala Jaksa ICC Karim Khan.
“Dengan melakukan itu, kami akan menunjukkan, bersama dengan semua mitra kami, bahwa Rohingya tidak dilupakan. Bahwa mereka, seperti semua orang di seluruh dunia, berhak atas perlindungan hukum,” kata jaksa asal Inggris itu dikutip Associated Press.
China Jadi Juru Damai
Tentara etnis minoritas bagian dari aliansi pemberontak yang memerangi militer yang berkuasa di Myanmar, telah mengumumkan kesediaannya untuk mengadakan pembicaraan dengan junta setelah pertempuran selama setahun di sepanjang perbatasan Myanmar-China.
Keputusan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang (TNLA) ini muncul saat negara tetangga China menekan pemberontak di tengah degenerasi militer yang cepat, yang telah lama dilihat Beijing sebagai penjamin stabilitas.
TNLA dalam sebuah pernyataan di saluran Telegram resminya mengatakan pihaknya menginginkan penghentian serangan udara militer di wilayahnya di negara bagian Shan utara dan menyatakan keinginannya untuk berunding dan menghargai upaya mediasi China.
TNLA merupakan bagian dari serangan terkoordinasi yang diluncurkan tahun lalu yang disebut “Operasi 1027,” dinamai sesuai tanggal dimulainya, yang telah menjadi tantangan terbesar bagi para jenderal Myanmar sejak kudeta mereka, yang mengakibatkan hilangnya beberapa kota dan pos militer.
Tentara Junta Mundur
Kelompok pemberontak etnis Karen National Union (KNU) telah berhasil merebut kembali markas bersejarah mereka di Manerplaw, dekat perbatasan Thailand, hampir tiga dekade setelah direbut oleh militer Myanmar.
Dalam pernyataannya, juru bicara KNU, Padoh Saw Taw Nee, mengumumkan bahwa pasukan mereka merebut desa tersebut pada Senin malam setelah pertempuran selama beberapa hari.
“Markas legendaris kami di Manerplaw telah mencapai ulang tahunnya yang ke-30, dan kami menganggap ini sebagai hadiah Natal yang selaras dengan musim perayaan ini,” ujar Padoh Saw Taw Nee, dilansir Narinjara News, sebagaimana dikutip The Diplomat
Manerplaw, yang terletak di perbatasan Kayin (Karen) State dan Thailand, didirikan pada 1975 sebagai ibu kota yang diusulkan untuk “Kawthoolei,” negara independen Karen yang diperjuangkan KNU sejak 1948.
Namun, perpecahan internal pada 1994 antara faksi Kristen dan Buddha memberikan celah bagi militer Myanmar untuk merebut desa tersebut pada Januari 1995, dengan bantuan faksi pecahan Democratic Karen Buddhist Army (DKBA). Kejatuhan Manerplaw saat itu memaksa ribuan warga sipil melarikan diri ke Thailand, memperbesar jumlah pengungsi di kamp-kamp sepanjang perbatasan.
Menurut laporan Narinjara News, serangan oleh sayap bersenjata KNU, Karen National Liberation Army (KNLA), menyebabkan korban besar di pihak pasukan junta yang ditempatkan di kamp tersebut. Mereka juga merebut persenjataan dan amunisi dalam jumlah besar, termasuk artileri kaliber 120mm dan 81mm.
Sejak kudeta militer Myanmar pada Februari 2021, KNU menjadi salah satu kelompok yang paling vokal menentang junta. Dalam beberapa tahun terakhir, KNLA berulang kali bentrok dengan militer Myanmar, termasuk serangan besar-besaran di Myawaddy, kota perdagangan penting di perbatasan Thailand.
Pada April 2024, mereka berhasil merebut pangkalan militer utama di luar kota tersebut sebelum pasukan pro-junta dari Karen Border Guard Force (KBGF) berhasil menahan serangan lebih lanjut.
Manerplaw juga pernah menjadi basis berbagai kelompok oposisi militer, termasuk All Burma Students’ Democratic Front (ABSDF), yang terdiri dari ratusan pelajar yang melarikan diri setelah protes pro-demokrasi pada 1988 dibubarkan secara brutal.
Sikap Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) buka suara terkait kemungkinan sanksi untuk Myanmar.
Juru Bicara Kemlu Roy Soemirat mengtatakan Indonesia dan Asean tidak berada dalam posisi berencana untuk menjatuhkan sanksi untuk Myanmar, meski negara itu belum memenuhi five point consensus yang telah disepakati 2021 lalu.
“Indonesia tidak dalam posisi menjatuhkan sanksi di luar forum Dewan Keamanan (DK) PBB,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa sanksi merupakan hal yang tidak mudah untuk diterapkan. Pasalnya, sanksi dapat berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat di negara yang dijatuhi sanksi.
“Sanksi harus diterapkan dengan terukur dan terarah. Jadi sanksi tidak bisa diterapkan secara membabi buta,” tambahnya.
“Selain itu, pemberlakuan sanksi melalui DK PBB itu juga harus terus di-review.”
Lebih lanjut, Roy memaparkan bahwa saat ini negara Asean telah memberikan tugas kepada Myanmar untuk mengadakan dialog yang inklusif antara pihak-pihak yang bertikai. Namun secara implementasi, hal ini masih sulit dilakukan lantaran banyaknya pihak yang meminta adanya syarat-syarat tertentu sebelum dialog dilakulan
“Setidaknya bisa duduk bareng dulu. Namun memang banyak pihak dalam konflik yang masih memberikan prekondisi untuk terjadinya dialog,” tambahnya.
Maka itu, Roy memaparkan bahwa Indonesia dan Asean masih terus berupaya mendorong semua pihak yang bertikai untuk paling tidak duduk bersama terlebih dahulu sebagai awalan pembicaraan perdamaian.
“Jadi sekarang kita berada dalam posisi bahwa prekondisi ini bukanlah hal yang sustainable untuk dilakukan karena dapat membuat diskusi ini jalan ditempat.”